Jakarta – Mobile Legends Professional League (MPL) Indonesia selalu menjadi panggung utama bagi tim-tim esports terbaik di Nusantara. Namun, Musim [Nomor Musim Fiktif] akan dikenang bukan karena dramanya yang spektakuler, melainkan karena sebuah catatan sejarah yang memilukan. Untuk pertama kalinya sejak liga ini didirikan, sang “Raja dari Segala Raja,” Rex Regum Qeon (RRQ) Hoshi, harus mengakhiri perjalanan mereka lebih awal, gagal melangkah ke babak Playoff.
Kejadian ini bukan sekadar kekalahan; ini adalah gempa bumi di dunia esports Mobile Legends. RRQ Hoshi, sebuah nama yang identik dengan dominasi, gelar juara, dan selalu menjadi kontestan utama di fase gugur, kini harus melihat enam tim terbaik lainnya berjuang memperebutkan mahkota dari kursi penonton.
Badai di Regular Season
Perjalanan RRQ Hoshi di Regular Season [Nomor Musim Fiktif] sudah menunjukkan gelagat yang tidak biasa. Tim yang dikenal memiliki mental baja dan strategi inovatif ini tampak kehilangan ritme. Susunan roster yang dirombak, dengan harapan membawa angin segar dan adaptasi meta baru, justru terasa timpang.
Sepanjang sembilan minggu kompetisi, Sang Raja kesulitan menemukan konsistensi. Permasalahan draft pick yang mudah dibaca lawan, komunikasi yang tersendat saat momen krusial, hingga kesalahan-kesalahan mekanik individual yang jarang terlihat, seolah menjadi makanan sehari-hari. Mereka seringkali unggul di early game, namun gagal menutup permainan, menghasilkan kekalahan-kekalahan dramatis yang memukul moral tim.
Dampak dari inkonsistensi ini terlihat jelas di papan klasemen. Jika di musim-musim sebelumnya RRQ Hoshi bersaing memperebutkan Upper Bracket, kali ini mereka terperangkap di zona merah. Pertandingan demi pertandingan terasa seperti final bagi mereka, namun tekanan untuk menang justru merusak performa.
Pekan Terakhir yang Menentukan
Puncak drama terjadi di pekan terakhir Regular Season. RRQ Hoshi memerlukan setidaknya dua kemenangan mutlak dan berharap hasil tim lain berpihak pada mereka untuk bisa mengunci posisi keenam.
Di pertandingan penentuan melawan [Nama Tim Fiktif/Tim Papan Bawah], RRQ Hoshi bermain di bawah bayang-bayang sejarah mereka sendiri. Mereka kalah 0-2 dalam pertandingan yang singkat dan berat sebelah. Para pemain terlihat tegang, dan tak ada satu pun inisiasi agresif khas “King of Kings” yang muncul. Kekalahan ini secara resmi mengunci posisi mereka di peringkat ketujuh, satu tangga di bawah batas kelolosan.
Di media sosial dan kolom komentar, tagar duka cita dan kritik membanjiri jagat esports. Reaksi publik bercampur antara rasa tidak percaya, kesedihan, dan amarah. Sebagian besar fans RRQ, yang dikenal loyal dan militan, hanya bisa tertunduk lesu. Rivalitas abadi dengan EVOS Glory untuk sementara waktu terlupakan, karena fokus kini beralih ke pertanyaan mendasar: Apa yang sebenarnya terjadi pada Sang Raja?
Evaluasi dan Masa Depan
Kegagalan ini adalah momen introspeksi terbesar dalam sejarah organisasi RRQ Hoshi. Kegagalan lolos Playoff bukan hanya berarti hilangnya kesempatan meraih gelar MPL dan tiket menuju Kejuaraan Dunia (M-Series), tetapi juga pukulan berat terhadap citra tim.
Manajemen tim akan menghadapi tugas berat untuk melakukan evaluasi total. Apakah masalahnya ada pada pelatih? Apakah roster yang ada sudah tidak sesuai dengan meta? Atau, apakah tekanan yang begitu besar dari sejarah kejayaan mereka sendiri yang justru membebani para pemain muda? bolaqiuqiu
Yang pasti, sejarah baru telah terukir, namun bukan sejarah yang diinginkan. Kegagalan ini akan menjadi titik nadir yang harus segera dilupakan dan dijadikan cambuk. Bagi RRQ Hoshi, musim depan bukan lagi soal meraih gelar, tetapi soal membuktikan bahwa mereka masih pantas menyandang gelar “Raja.” Dunia esports kini menanti kebangkitan raksasa yang terpaksa tidur lebih awal dari biasanya.
