Banda Aceh — Suasana Kantor Gubernur Aceh mendadak tegang setelah laporan mengenai hilangnya sekitar 80 ton bantuan logistik yang sedianya disalurkan kepada korban bencana di wilayah pesisir barat provinsi itu. Gubernur Aceh dibuat terheran-heran karena bantuan yang sudah tercatat di gudang logistik provinsi tersebut lenyap tanpa jejak, memicu pertanyaan besar tentang keamanan distribusi dan integritas jalur bantuan.
Bantuan yang hilang tersebut terdiri dari beras, air mineral, perlengkapan medis ringan, selimut, serta kebutuhan darurat lainnya. Seluruhnya tercatat masuk ke gudang logistik milik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh pada pekan sebelumnya, seiring meningkatnya kebutuhan korban banjir bandang dan gelombang pasang di beberapa kabupaten.
“Saya betul-betul heran dan kecewa. Bagaimana mungkin 80 ton bantuan bisa hilang begitu saja? Ini bukan jumlah kecil. Kita bicara tentang kebutuhan dasarnya masyarakat yang sedang menderita,” kata Gubernur Aceh dalam konferensi pers yang digelar mendadak pada Selasa sore.
Menurut data internal BPBD, bantuan tersebut dijadwalkan dikirimkan ke daerah terdampak dalam tiga gelombang. Namun, ketika petugas melakukan pengecekan ulang sebelum pengiriman terakhir, mereka mendapati puluhan palet logistik tidak lagi berada di lokasi penyimpanan. Tidak ditemukan tanda-tanda pencurian paksa seperti kerusakan kunci atau pagar, sehingga dugaan awal mengarah pada adanya kelalaian atau permainan internal.
Kepala BPBD Aceh mengakui adanya kejanggalan sejak proses pemindahan barang dari pelabuhan menuju gudang. Ia menyebutkan bahwa perbedaan data antara tim pencatatan dan tim lapangan sudah terdeteksi sejak Sabtu lalu. Namun, dugaan tersebut belum disimpulkan sebagai kehilangan hingga audit fisik ulang dilakukan pada Selasa pagi.
“Ada selisih yang signifikan antara jumlah yang tercatat dan yang ada di lapangan. Kami sedang mengusut apakah ini hasil kesalahan administrasi atau unsur kesengajaan,” ujarnya.
Gubernur Aceh langsung memerintahkan pembentukan tim investigasi khusus yang melibatkan inspektorat daerah, kepolisian, dan auditor independen. Ia juga menegaskan bahwa siapa pun yang terbukti terlibat akan menerima konsekuensi hukum yang tegas.
“Kita tidak bisa mentolerir praktik yang mengorbankan rakyat. Kalau ada oknum yang bermain, saya pastikan proses hukum tidak akan berhenti di tengah jalan,” tegasnya.
Sementara itu, warga di daerah terdampak bencana mulai mempertanyakan keterlambatan distribusi bantuan. Di Kecamatan Labuhan Haji, misalnya, warga mengaku baru menerima satu kali distribusi bantuan sejak banjir bandang melanda dua minggu lalu. Banyak pengungsi yang masih bergantung pada dapur umum dan sumbangan dari komunitas lokal.
“Kalau memang ada bantuan sebanyak itu, kenapa kami di sini belum dapat? Padahal kebutuhan kami sangat mendesak,” keluh seorang warga yang tinggal di tenda pengungsian.
Pengamat tata kelola publik dari Universitas Syiah Kuala menilai kasus hilangnya bantuan ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan distribusi logistik di daerah. Menurutnya, ketergantungan pada pencatatan manual serta minimnya teknologi pelacakan memudahkan terjadinya penyimpangan.
“Harus ada sistem digital yang memantau pergerakan barang sejak keluar dari pelabuhan hingga tiba di titik distribusi terakhir,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa ketidakteraturan pencatatan sering kali menjadi celah utama dalam hilangnya barang-barang bantuan di berbagai daerah. bolaqiuqiu
Hingga berita ini diturunkan, tim investigasi masih mengumpulkan rekaman CCTV dari gudang serta memeriksa para petugas yang bertanggung jawab dalam rantai distribusi. Gubernur menegaskan bahwa laporan awal hasil penyelidikan harus disampaikan dalam waktu 72 jam.
Bagi masyarakat Aceh yang tengah berjuang memulihkan kehidupan setelah bencana, hilangnya 80 ton bantuan ini bukan sekadar masalah administrasi, melainkan persoalan kemanusiaan. Pemerintah daerah kini berada di bawah sorotan publik untuk memastikan bahwa setiap bantuan yang dikirim benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan.



