PONTIANAK, KALBAR—Komitmen Indonesia dalam memodernisasi alat utama sistem persenjataan (Alutsista) pertahanan udara semakin nyata. Sebuah kabar penting telah dikonfirmasi: unit perdana Unmanned Combat Aerial Vehicle (UCAV) Anka-S buatan Turkish Aerospace Industries (TAI) dilaporkan telah tiba di Lanud Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat. Kedatangan drone berdaya tahan tinggi ini menandai lompatan signifikan bagi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU), khususnya dalam menjaga kedaulatan wilayah perbatasan yang strategis.
Kedatangan unit pertama Anka-S ini adalah bagian dari kontrak pengadaan total 12 unit drone yang ditandatangani oleh Kementerian Pertahanan RI dan TAI pada Februari 2023, dengan nilai sekitar 300 juta Dolar AS. Anka-S sendiri merupakan drone kelas Medium Altitude Long Endurance (MALE) yang dikenal memiliki kemampuan operasional yang unggul dan sangat fleksibel.
Drone Anka-S Tiba di Lanud Supadio, Memperkuat Pertahanan Indonesia
MATA DAN OTOT BARU TNI AU
Penempatan Anka-S di Lanud Supadio, Pontianak, yang merupakan home base dari Skadron Udara 51, memiliki arti strategis yang mendalam. Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan Malaysia dan memiliki peran sentral dalam menjaga wilayah udara serta maritim di sekitar perbatasan.
Anka-S dirancang untuk beroperasi selama 30 jam non-stop pada ketinggian hingga 9.100 meter (30.000 kaki). Durasi terbang yang ekstrem ini memastikan kemampuan ISR (Intelijen, Pengintaian, dan Pengawasan) yang tak tertandingi di area yang luas, mulai dari perairan Natuna hingga Laut Cina Selatan.
Drone buatan Turki ini dilengkapi dengan sistem avionik canggih dan sensor elektro-optik generasi terbaru, termasuk:
- Synthetic-aperture radar (SAR) dan Inverse SAR (ISAR): Memungkinkan pengamatan dan pemetaan resolusi tinggi bahkan dalam kondisi cuaca buruk atau di balik awan.
- Ground Moving Target Indicator (GMTI): Mampu mendeteksi dan melacak pergerakan target di darat.
- Laser Designator/Range Finder: Memberikan kemampuan untuk menentukan target dengan presisi tinggi, yang krusial untuk serangan jika drone dilengkapi amunisi.
Dengan kemampuan tersebut, Anka-S bukan hanya bertindak sebagai “mata” yang mampu memantau pergerakan asing di wilayah perbatasan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, tetapi juga memiliki potensi sebagai “otot” karena dikategorikan sebagai UCAV, yang berarti dapat dipersenjatai untuk serangan presisi.
STRATEGI PENEMPATAN ULANG ALUTSISTA
Laporan kedatangan Anka-S ini juga menyinggung adanya pergeseran penempatan Alutsista TNI AU. Diketahui bahwa dengan hadirnya Anka-S, drone MALE yang telah dimiliki Indonesia sebelumnya, CH-4B buatan Tiongkok, rencananya akan dipindahkan.
Awalnya, CH-4B ditempatkan di Lanud Raden Sadjad, Natuna. Namun, sesuai rencana modernisasi, Anka-S yang merupakan sistem lebih baru akan menggantikan peran CH-4B di Natuna—area yang sangat sensitif—sementara CH-4B digeser ke Lanud Supadio.
Namun, informasi terbaru menunjukkan bahwa unit Anka-S perdana justru tiba di Supadio. Terlepas dari strategi penempatan akhir, kehadiran Anka-S di Kalimantan Barat menegaskan bahwa TNI AU kini fokus pada penguatan pertahanan di wilayah barat Indonesia, yang merupakan jalur maritim dan udara tersibuk.
TRANSFER TEKNOLOGI DAN MASA DEPAN
Selain pengadaan 12 unit, kontrak dengan TAI mencakup klausul penting terkait Transfer of Technology (ToT). Dalam skema ini, enam dari dua belas unit Anka-S dijadwalkan akan diproduksi atau dirakit di Indonesia melalui kerja sama dengan PT Dirgantara Indonesia (PTDI).
Langkah ini bukan sekadar menambah jumlah alutsista, tetapi juga merupakan investasi jangka panjang untuk kemandirian industri pertahanan nasional. ToT akan memungkinkan insinyur Indonesia untuk menguasai teknologi drone MALE modern, mulai dari integrasi sistem, pemeliharaan, hingga potensi pengembangannya di masa depan. bolaqiuqiu
Kehadiran Anka-S di Lanud Supadio tidak hanya memperkuat penjagaan wilayah udara Indonesia. Ini adalah tonggak sejarah yang menandai era baru pengawasan kedaulatan dengan teknologi nirawak, memberikan kemampuan pengintaian, pengawasan, dan potensi serangan yang jauh lebih canggih dan berdaya tahan. Langkah ini diharapkan mampu memberikan efek gentar (deterrence effect) sekaligus menjamin keamanan wilayah strategis Indonesia di tengah dinamika geopolitik kawasan.