
BolaQiuQiu – Indonesia resmi dikenai tarif impor sebesar 32% oleh Amerika Serikat setelah bergabung sebagai anggota penuh BRICS pada KTT BRICS ke-17 di Rio de Janeiro, Brasil, 6–7 Juli 2025. Keputusan ini diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump melalui platform Truth Social, menyoroti defisit perdagangan AS dengan Indonesia sebagai salah satu alasan utama. Tarif ini akan berlaku mulai 1 Agustus 2025, menambah tekanan pada sektor ekspor Indonesia, khususnya tekstil, alas kaki, dan elektronik, yang menyumbang surplus perdagangan sebesar $16,84 miliar pada 2024.
Menurut pernyataan Gedung Putih, tarif 32% diberlakukan karena ketidakseimbangan tarif dan hambatan non-tarif di Indonesia. Misalnya, Indonesia mengenakan tarif 30% untuk etanol dari AS, sementara AS hanya 2,5% untuk produk serupa. Selain itu, kebijakan seperti persyaratan kandungan lokal (TKDN) dan rezim perizinan impor dianggap sebagai hambatan bagi ekspor AS. Trump juga mengancam tarif tambahan 10% untuk negara-negara yang dianggap mendukung kebijakan “anti-Amerika” BRICS, meskipun belum ada kejelasan mengenai kebijakan spesifik yang dimaksud. Ancaman ini muncul setelah pernyataan BRICS di Rio yang mengkritik tarif sepihak sebagai ancaman bagi perdagangan global.
Presiden Prabowo Subianto, yang menghadiri KTT BRICS, menegaskan bahwa keanggotaan Indonesia dalam BRICS bertujuan untuk memperkuat kerja sama Selatan-Selatan, bukan melawan kepentingan AS. “Kami ingin menjaga hubungan baik dengan semua pihak, termasuk AS dan Tiongkok, sesuai dengan prinsip bebas aktif,” ujar Menteri Luar Negeri Sugiono. Untuk menghindari dampak tarif, Indonesia tengah menegosiasikan perjanjian perdagangan bebas dengan AS. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang berada di AS pada 7 Juli untuk pembicaraan tarif, menawarkan pemotongan bea masuk hingga mendekati nol untuk produk AS dan pembelian gandum AS senilai $500 juta.
Indonesia Dikenai Tarif 32% oleh Trump Setelah Resmi Jadi Anggota BRICS
Ekonom Universitas Gadjah Mada, Muhammad Edhie Purnawan, memperingatkan bahwa tarif 32% dapat mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar AS, terutama untuk sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki. “Ekspor bisa turun, berpotensi memicu pengurangan tenaga kerja,” katanya. Namun, ia juga melihat peluang, karena tarif Indonesia lebih rendah dibandingkan Vietnam (46%) dan Kamboja (49%), yang dapat menarik investasi dari negara-negara tersebut. Edhie menyarankan Indonesia mendiversifikasi pasar ekspor ke ASEAN, Eropa, dan Timur Tengah, serta memanfaatkan keanggotaan BRICS untuk memperluas akses pasar.
BRICS, yang kini beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Iran, Uni Emirat Arab, dan Indonesia, mewakili 46% populasi dunia dan 32% PDB global. Keanggotaan Indonesia diharapkan meningkatkan pengaruh global dan mendukung agenda Selatan Global, termasuk reformasi tata kelola dunia. Namun, ancaman tarif Trump menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha. “Surplus perdagangan kita bisa tergerus, dan pemutusan hubungan kerja mungkin terjadi jika ekspor ke AS menurun,” ujar salah satu pengguna X, mencerminkan sentimen publik.
Pemerintah Indonesia menanggapi dengan tenang, yang oleh Edhie disebut sebagai strategi terukur. “Sikap tenang bukan kelemahan, tetapi langkah untuk menjaga posisi tawar di tengah ketegangan geopolitik,” katanya. Indonesia juga berencana menghidupkan kembali Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) untuk mengatasi hambatan perdagangan dan menawksan insentif fiskal bagi perusahaan AS. Selain itu, kerja sama dengan Malaysia sebagai ketua ASEAN 2025 dianggap penting untuk merumuskan respons kolektif terhadap tantangan perdagangan global. bolaqiuqiu
Dengan negosiasi yang masih berlangsung, Indonesia berupaya menyeimbangkan manfaat keanggotaan BRICS dengan hubungan dagang strategis bersama AS. Langkah ini mencerminkan diplomasi ekonomi yang cermat di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian.