
Upaya negosiasi Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) untuk menurunkan tarif impor resiprokal sebesar 32% berakhir tanpa hasil. Presiden AS Donald Trump, melalui surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto pada 7 Juli 2025, menegaskan bahwa tarif tersebut akan berlaku mulai 1 Agustus 2025 untuk seluruh produk Indonesia yang masuk ke pasar AS. Kegagalan ini memicu kekhawatiran akan dampak ekonomi, terutama pada sektor ekspor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang memimpin delegasi ke Washington DC, menyatakan kekecewaannya atas keputusan tersebut. Meski Indonesia telah menawarkan peningkatan impor produk energi dan agrikultur AS senilai 34 miliar dolar AS serta pelonggaran kebijakan non-tarif seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), AS tetap bergeming. “Kami telah menyampaikan proposal terbaik, namun keputusan ini di luar ekspektasi,” ujar Airlangga, Rabu (9/7).
Trump menyebut tarif 32% sebagai respons atas ketimpangan perdagangan, dengan defisit AS terhadap Indonesia mencapai 14,34 miliar dolar AS pada 2024. Dalam suratnya, ia mengklaim Indonesia menerapkan tarif hingga 64% terhadap produk AS, meski hanya membebankan 32% sebagai “langkah awal”. Ia juga memperingatkan bahwa kenaikan tarif impor Indonesia terhadap produk AS akan memicu tarif tambahan, dan negara anggota BRICS, termasuk Indonesia, berisiko dikenai tambahan 10%, menjadikan total tarif potensial 42%.
Negoisasi RI Gagal, Trump Tetap Memberikan Tarif 32% untuk Indonesia
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut kegagalan negosiasi ini sebagai “kegagalan strategis” pemerintah. Ia membandingkan dengan Thailand dan Kamboja, yang berhasil menurunkan tarif masing-masing dari 36% dan 49% menjadi 10%. “Indonesia terlalu mengandalkan intensitas pertemuan tanpa strategi transaksional yang jelas,” katanya. Bhima memprediksi tarif ini dapat menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 0,5% pada 2025, dengan risiko PHK di sektor tekstil yang mempekerjakan 3,98 juta orang.
Sektor ekspor utama Indonesia ke AS, seperti pakaian rajutan (60,5% diserap AS) dan furnitur (58,2%), diperkirakan akan kehilangan daya saing karena harga yang lebih mahal. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan ekspor nonmigas ke AS mencapai 2,35 miliar dolar AS pada Februari 2025, menjadikan AS tujuan ekspor terbesar kedua setelah China. Penurunan ekspor dapat memperlebar defisit neraca transaksi berjalan hingga 0,87% dari PDB.
Pemerintah kini berupaya meredam dampak dengan diversifikasi pasar ke ASEAN, Eropa, dan Timur Tengah, serta memperkuat konsumsi domestik. Presiden Prabowo telah menginstruksikan pembentukan satgas deregulasi dan mitigasi PHK untuk melindungi pekerja terdampak. Namun, pengamat Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyarankan Indonesia membatalkan negosiasi lanjutan, mempertanyakan efektivitasnya setelah keputusan Trump yang tegas. “Fokuslah pada penguatan ekonomi domestik dan alternatif pasar,” ujarnya. bolaqiuqiu
Dengan batas waktu hingga 1 Agustus 2025, pemerintah masih memiliki ruang untuk negosiasi ulang, meski peluangnya kini semakin tipis. Kegagalan ini menjadi pelajaran berharga bagi diplomasi ekonomi Indonesia di tengah dinamika perdagangan global yang kian menantang.