Pada 9 September 2025, dunia internasional diguncang oleh serangan mendadak Israel terhadap Doha, ibu kota Qatar. Serangan ini menargetkan pemimpin politik Hamas yang sedang mengadakan pertemuan untuk membahas proposal gencatan senjata Gaza yang didukung AS. Setidaknya enam orang tewas, termasuk seorang petugas keamanan Qatar, dan beberapa lainnya luka-luka. Qatar, yang selama ini berperan sebagai mediator utama dalam negosiasi Israel-Hamas, langsung bereaksi keras. Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, menyatakan bahwa negara Teluk itu siap membalas serangan tersebut, menyebutnya sebagai “terorisme negara” oleh Israel.
Serangan Israel ini merupakan yang pertama kalinya terhadap wilayah Qatar, negara yang menampung basis udara Al Udeid milik AS terbesar di Timur Tengah. Israel mengklaim serangan itu bertujuan membunuh pemimpin Hamas senior, meskipun Hamas menyatakan kepemimpinannya selamat. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu disebut oleh Al Thani sebagai dalang di balik “barbarisme” yang mengancam stabilitas regional.
Qatar Menyatakan Siap Membalas Serangan Israel Terhadap Doha
Dalam konferensi pers pada 10 September 2025, Al Thani menegaskan, “Negara Qatar berkomitmen untuk bertindak tegas terhadap segala yang menargetkan wilayahnya dan berhak membalas serta mengambil semua langkah yang diperlukan untuk membalas.”
Pernyataan ini menandai pergeseran sikap Qatar, yang selama ini menjaga netralitas dalam konflik Gaza yang telah memasuki tahun kedua.Reaksi Qatar tidak berdiri sendiri. Negara-negara Teluk seperti Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Oman langsung menunjukkan solidaritas. Presiden UEA Mohammed bin Zayed Al Nahyan tiba di Doha hanya 24 jam setelah serangan, memulai tur koordinasi regional. UEA bahkan memanggil duta besar Israel untuk mengecam serangan yang disebut “blak-blakan dan pengecut”.
Al Thani menyebut respons ini sedang “dikonsultasikan dan didiskusikan” dengan mitra regional, dengan keputusan diharapkan pada KTT Arab dan Islam di Doha akhir pekan ini.
Qatar menekankan perlunya “respons kolektif” untuk mencegah eskalasi lebih lanjut, mengingatkan bahwa serangan ini melanggar kedaulatan dan membahayakan seluruh Teluk.
Secara militer, opsi pembalasan Qatar terbatas. Dengan kekuatan pertahanan yang bergantung pada aliansi AS, Doha lebih condong ke langkah diplomatik dan ekonomi. Namun, Al Thani memperingatkan bahwa krisis ini telah mencapai “titik penentu”, dan Qatar berhak merespons serangan “yang tidak terdeteksi radar pertahanan udara mereka”.
Beberapa analis memprediksi sanksi ekonomi terhadap Israel, pemutusan hubungan diplomatik, atau dukungan lebih kuat untuk Palestina di forum internasional. Iran, yang sebelumnya menyerang basis AS di Qatar sebagai balasan terhadap serangan nuklir AS, melihat ini sebagai peluang untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan.
Dampak serangan ini terhadap negosiasi gencatan senjata Gaza sangat signifikan. Qatar, yang memediasi bersama AS dan Mesir, menyatakan akan melanjutkan peran diplomatiknya meskipun terluka. “Mediasi dan diplomasi Qatar adalah bagian dari identitas kami, dan tidak ada yang akan menghentikan kami,” tegas Al Thani.
Namun, serangan ini tampaknya mengakhiri upaya pembebasan sandera melalui negosiasi, karena Hamas menolak proposal Trump yang disetujui Israel. Wakil Presiden AS JD Vance menyatakan frustrasi, mengatakan serangan itu tidak melayani kepentingan AS atau Israel.
Presiden Israel Isaac Herzog membela serangan itu, menyatakan bahwa terkadang orang harus “dihapus” jika tidak mau bernegosiasi.
Reaksi global pun mengalir deras. Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong menyebut serangan itu “hal yang salah dilakukan”, yang membahayakan upaya gencatan senjata.
Jepang mendesak Israel kembali ke meja perundingan, sementara Inggris menggelar pertemuan “keras” antara PM Keir Starmer dan Herzog. bolaqiuqiu
Di Asia Pasifik, pemimpin negara-negara mengecam pelanggaran kedaulatan Qatar. Sementara itu, serangan Israel di Gaza City terus berlanjut, dengan 48 korban tewas sejak fajar pada 14 September.
Serangan terhadap Doha ini menandai eskalasi berbahaya dalam konflik Timur Tengah. Qatar, dengan peran gandanya sebagai mediator dan tuan rumah basis militer AS, kini berada di persimpangan. Pernyataan siap balas dari Al Thani bukan sekadar retorika; ini sinyal bahwa Teluk tidak akan tinggal diam. Dengan KTT mendatang, dunia menanti apakah respons kolektif akan mencegah perang regional atau justru memperburuknya. Stabilitas Gaza, sandera, dan perdamaian Timur Tengah tergantung pada langkah selanjutnya. Qatar telah menunjukkan ketangguhannya, tapi harga yang dibayar bisa sangat mahal. (612 kata)
