Setya Novanto, Terpidana Kasus Korupsi E-KTP yang Bebas Bersyarat

Pada 16 Agustus 2025, mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, resmi menghirup udara bebas setelah mendapatkan pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Keputusan ini, yang bertepatan dengan peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan Indonesia, memicu beragam reaksi dari masyarakat, pegiat antikorupsi, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setya Novanto, atau yang akrab disapa Setnov, adalah figur sentral dalam kasus megakorupsi proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun dari total anggaran Rp5,9 triliun. Bagaimana perjalanan kasus ini hingga akhirnya ia bebas bersyarat?

Jejak Karier Politik dan Awal Kasus Korupsi

Setya Novanto bukanlah nama asing di kancah politik Indonesia. Kariernya dimulai sebagai kader Kosgoro pada 1974, dan ia berhasil menduduki kursi DPR dari Fraksi Partai Golkar selama enam periode sejak 1998. Puncaknya, ia menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar sebelum tersandung kasus korupsi e-KTP. Nama Novanto mulai menjadi sorotan ketika KPK menetapkannya sebagai tersangka pada Juli 2017, setelah terungkap adanya kongkalikong sistemik dalam proyek e-KTP periode 2011-2013. Proyek ini, yang bertujuan memperbaiki sistem data kependudukan, justru menjadi ladang korupsi yang melibatkan birokrat, anggota DPR, hingga pengusaha.

Pada 24 April 2018, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Novanto 15 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan, dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar US$7,3 juta (dikurangi Rp5 miliar yang telah dititipkan ke KPK). Hak politiknya juga dicabut selama lima tahun pasca menjalani hukuman. Majelis hakim menyatakan Novanto terbukti memanfaatkan pengaruhnya di Komisi II DPR untuk meloloskan anggaran proyek e-KTP, yang menyebabkan kerugian negara yang sangat besar.

Setya Novanto, Terpidana Kasus Korupsi E-KTP yang Bebas Bersyarat

Drama Hukum dan Kontroversi

Perjalanan kasus Novanto penuh drama. Ia sempat lolos dari status tersangka melalui gugatan praperadilan pada September 2017, namun KPK kembali menetapkannya sebagai tersangka pada November 2017. Salah satu momen yang mencuri perhatian publik adalah “kecelakaan tiang listrik” saat Novanto dikabarkan hendak menyerahkan diri ke KPK, yang memunculkan tagar #IndonesiaMencariPapah di media sosial. Novanto juga kerap mengelak dengan dalih sakit, menambah kesan bahwa ia berusaha menghindari jeratan hukum.

Selama menjalani hukuman di Lapas Sukamiskin, Novanto tercatat aktif dalam program pembinaan, seperti pertanian, perkebunan, dan menjadi inisiator klinik hukum. Ia juga mendapatkan remisi total 28 bulan 15 hari, serta pengurangan hukuman melalui Peninjauan Kembali (PK) yang dikabulkan Mahkamah Agung pada Juli 2025. Hukumannya dipangkas dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan, memungkinkannya memenuhi syarat pembebasan bersyarat setelah menjalani dua pertiga masa hukuman.

Pembebasan Bersyarat dan Kritik Publik

Pembebasan bersyarat Novanto diatur dalam Surat Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan tertanggal 15 Agustus 2025. Ia kini berstatus sebagai klien pemasyarakatan di bawah pengawasan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung hingga 1 April 2029, dengan kewajiban lapor sebulan sekali. Novanto juga telah melunasi denda Rp500 juta dan uang pengganti Rp43,7 miliar, meskipun sisa Rp5,3 miliar masih menjadi subsider.

Keputusan ini menuai kritik tajam. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut pembebasan Novanto sebagai kemunduran dalam agenda pemberantasan korupsi. Peneliti ICW, Yassar Aulia, menyoroti kegagalan penegak hukum menerapkan pasal pencucian uang untuk menelusuri aliran dana korupsi. KPK juga mengingatkan bahwa kasus e-KTP bukan hanya soal kerugian finansial, tetapi juga merusak pelayanan publik, seperti kekacauan data kependudukan dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. bolaqiuqiu

Pembelajaran untuk Masa Depan

Bebasnya Setya Novanto kembali membuka diskusi tentang efektivitas penegakan hukum terhadap koruptor kelas kakap. Meski Novanto masih terikat aturan wajib lapor dan baru bisa aktif berpolitik pada 2031, banyak yang mempertanyakan apakah keadilan telah ditegakkan. Kasus ini menjadi pengingat bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen bersama, sebagaimana disuarakan KPK dengan mengaitkannya pada tema HUT RI ke-80: “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.”

Setya Novanto, dengan segala kontroversi dan dramanya, tetap menjadi simbol kompleksitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Kisahnya adalah cerminan bahwa hukum harus terus diperkuat agar kejahatan serius seperti korupsi e-KTP tidak terulang.

Related Posts

Massa Hancurkan dan Jarah Rumah Sahroni Dampak Dari Ucapan Tolol

Gelombang kemarahan publik mencapai puncaknya pada Sabtu sore, 30 Agustus 2025, ketika ratusan massa menggeruduk dan menjarah rumah anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Ahmad Sahroni, di Jalan Swasembada…

Pengemudi Ojol Dilindas Mobil Rantis Brimob Meninggal Dunia

Jakarta, 28 Agustus 2025 – Tragedi memilukan terjadi di tengah kericuhan demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, pada Kamis malam, 28 Agustus 2025. Seorang pengemudi ojek online (ojol)…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *