
Pada Senin, 25 Agustus 2025, gedung DPR RI di Senayan, Jakarta, menjadi saksi aksi demonstrasi besar-besaran bertajuk “Revolusi Rakyat Indonesia.” Aksi ini, yang menarik ribuan massa dari berbagai kalangan, termasuk pengemudi ojek online, mahasiswa, dan masyarakat sipil, berujung ricuh dan tragis. Dilaporkan, setidaknya tiga orang meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka akibat bentrokan dengan aparat keamanan. Demonstrasi ini dipicu oleh kemarahan publik terhadap kenaikan tunjangan anggota DPR, khususnya tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan, di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit. Artikel ini mengulas kronologi, penyebab, dan dampak dari tragedi tersebut.
Kronologi Kericuhan di Gedung DPR
Aksi dimulai sekitar pukul 09.30 WIB, ketika massa mulai memadati depan gerbang utama Gedung DPR RI. Pantauan Kompas.com mencatat, demonstran yang tidak mengenakan atribut organisasi resmi tampak beragam, dengan banyak pengemudi ojek online membawa sepeda motor. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Indonesia Sold Out” dan membawa bendera One Piece, simbol protes terhadap pemerintah. Tuntutan utama meliputi pembatalan kenaikan tunjangan DPR, pengesahan RUU Perampasan Aset untuk memberantas korupsi, dan bahkan pembubaran DPR RI. Sejumlah akun di X, seperti @NenkMonica
, sebelumnya mengimbau massa menggunakan plastik untuk melindungi diri dari gas air mata, mengindikasikan antisipasi bentrokan.
Tragedi Demo DPR 25 Agustus: Korban Berjatuhan di Tengah Aksi Protes
Situasi memanas sekitar pukul 12.45 WIB, ketika massa berupaya menerobos barikade beton yang dipasang polisi. Aparat keamanan, yang terdiri dari 1.250 personel gabungan TNI, Polri, dan Pemda DKI, merespons dengan tembakan gas air mata dan semprotan air. Massa membalas dengan melempar botol plastik dan batu, bahkan sempat membakar sepeda motor. Kericuhan meningkat ketika sekelompok pelajar, beberapa masih berseragam, mencoba menerobos melalui jalan tol dalam kota, memicu tembakan gas air mata tambahan. Menurut BBC News Indonesia, aparat Brimob menembakkan gas air mata lebih dari lima kali dalam waktu setengah jam, memukul mundur massa ke arah Gelora Bung Karno dan Senayan Park.
Korban dan Kekerasan Aparat
Tragedi ini meninggalkan luka mendalam. Berdasarkan unggahan di X oleh @streptococcvs
, tiga korban dilaporkan meninggal, meski informasi ini masih menunggu konfirmasi resmi. Selain itu, 1308 orang dilaporkan luka-luka, dengan 40 di antaranya dirawat di rumah sakit. Salah satu korban adalah seorang wartawan yang kembali sadar setelah mendapat perawatan. Laporan YLBHI menyoroti pola kekerasan aparat, termasuk penangkapan sewenang-wenang, pemukulan, dan penyiksaan terhadap demonstran yang tidak melawan. Tindakan ini mencakup penggunaan baton dan perisai, bahkan terhadap massa yang sudah tak berdaya, memenuhi unsur penyiksaan dengan motif penghukuman.
Koalisi masyarakat sipil, Tim Advokasi untuk Demokrasi (Taud), juga mencatat adanya penghilangan paksa jangka pendek, di mana aparat tidak memberikan informasi tentang demonstran yang ditahan. Pendamping hukum sering dihalangi, menambah dugaan pelanggaran HAM oleh aparat. Serangan digital dari akun pribadi aparat TNI/Polri, berupa teror dan intimidasi, turut memperburuk situasi. bolaqiuqiu
Respons DPR dan Pemerintah
Ketua DPR Puan Maharani menanggapi kericuhan dengan mengimbau agar aspirasi disampaikan dengan saling menghormati. Ia menegaskan DPR siap menampung masukan masyarakat untuk memperbaiki kinerja legislatif. Wakil Ketua Komisi II DPR Aria Bima meminta aparat bertindak persuasif, bukan represif, untuk menciptakan situasi kondusif. Sementara itu, Wakil Ketua DPR Saan Mustofa menyatakan bahwa demonstrasi adalah hak demokrasi, dan DPR terbuka untuk berdialog. Namun, bantahan dari Wakil Ketua DPR Adies Kadir bahwa tidak ada kenaikan gaji, hanya tunjangan, tidak meredakan kemarahan publik.
Tragedi demo DPR 25 Agustus 2025 menjadi cerminan buruknya komunikasi antara rakyat dan wakilnya. Korban jiwa dan luka akibat kekerasan aparat menambah daftar panjang pelanggaran HAM dalam aksi protes di Indonesia. Kejadian ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk mendengar aspirasi rakyat dan memperbaiki kebijakan yang memicu ketidakpuasan, sebelum ketegangan memicu aksi lebih besar di masa depan.